Menjaga Likuiditas

Wawasan | Diposting oleh Innes N pada 16 April 2020

Bisnis Indonesia, 13 April 2020

Wabah pandemik COVID 19 dikhawatirkan kian meluas. Berbagai upaya mengatasi wabah ini terus diupayakan pemerintah. Wabah yang melanda dunia ini, telah membuat negaranegara berada di ambang krisis. IMF bahkan telah menyatakan dunia sekarang dalam resesi. Bahkan menyebut, saat ini dunia dalam resesi yang jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global 2008.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah menyatakan bahwa perekonomian kita akan mengalami kontraksi. Pertumbuhan ekonomi 2020 diprediksi tumbuh 2.3%, bahkan jika skenario buruk terjadi, menurut Menkeu—pertumbuhan PDB Indonesia berpotensi negatif.

Apa yang telah diupayakan pemerintah dengan mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan COVID 19 sebesar Rp405,1 T: Rp75 T untuk bidang kesehatan, Rp110 T untuk perlindungan sosial, Rp70,1 T untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, dan Rp150 T untuk program pemulihan ekonomi nasional, perlu kita sambut baik.

Begitu pula kebijakan OJK melalui POJK No.11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian bagi para debitur lembaga keuangan yang terdampak COVID 19, khusus bagi UMKM dengan plafond di bawah Rp10 milyar, perlu kita apresiasi.

Hanya saja, ada satu pertanyaan penting saat menghadapi krisis ekonomi: apa sebetulnya yang harus dijaga dan dikelola dengan baik agar perekonomian cepat pulih? Dari pengalaman penulis, sebagai praktisi keuangan yang pernah berpartisipasi di era krisis 1998, jawabannya adalah: LIKUIDITAS.

Jika dikaji lebih seksama, saat krisis 1998, tidak semua sektor usaha nasional terpukul. Sektor yang paling terimbas saat itu adalah korporasi-korporasi yang banyak melakukan investasi sangat agresif dan bank-bank besar milik konglomerat yang banyak melanggar prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (GCG).

Meski mereka mengalami krisis keuangan, namun masih ada solusi dalam menjaga aliran likuiditas. Likuiditas masih tersedia di pasar global, karena ekonomi negara-negara lain masih cukup kuat. Krisis pun berangsur pulih saat aliran likuiditas keuangan global banyak masuk ke Indonesia.

Banyak investor yang membeli korporasi dan bank-bank Indonesia dengan harga yang murah. Bahkan, penulis masih ingat—banyak perorangan dari luar negeri yang datang dan menginap di Hotel Grand Hyatt Jakarta untuk membeli jam tangan mewah dan perhiasan mahal dengan harga murah dari para pengusaha yang tengah kesulitan likuiditas.

Sementara saat ini, kontraksi moneter yang kita hadapi terjadi secara global. Hampir semua negara mengalami kontraksi ekonomi. Bahkan, menurut laporan McKinsey 25 Maret 2020, PDB negara-negara maju diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif. Resesi pun diperkirakan akan terus berlangsung hingga tahun depan.

Krisis Multi-Sektor

Berbeda dengan krisis 1998, dalam krisis kali ini, sektor jasa yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional sangat terpukul. Kebijakan karantina masal #DiRumahAja, atau kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah berdampak anjloknya bisnis berbagai sektor industri: perhotelan, restoran, kafe, travel, transportasi, penerbangan, pariwisata, bahkan manufaktur. Aktivitas perekonomian hampir separuh terhenti. Dan situasi ini terjadi di seluruh dunia, secara hampir bersamaan.

Melihat situasi yang terjadi, penting dan mendesak bagi kita untuk mencari solusi bagaimana menjaga aliran likuiditas perusahaan. Ini adalah kata kunci untuk tetap bertahan dan dapat keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Secara sederhana, likuiditas bagi perusahaan diperoleh dari revenue (penjualan) sedangkan bagi perorangan likuiditas diperoleh jika ia mempunyai penghasilan. Likuiditas dapat pula ditingkatkan dengan menarik dana cadangan, surplus, deposito atau menjual barang-barang yang tak dibutuhkan, atau meminjam dari lembaga keuangan atau dari keluarga dan teman.

Situasi wabah COVID 19 yang semakin lama semakin mengancam perekonomian, secara langsung sangat mengganggu terjadinya sirkulasi aliran likuiditas ini, karena:

Pertama, penghasilan atau pendapatan baik di sektor perorangan maupun korporasi (UMKM) mengalami penurunan;

Kedua, tidak mudah untuk mendapatkan likuiditas dari lembaga keuangan—dimana menurut informasi yang penulis terima—banyak bank-bank yang mengambil kebijakan menghentikan kredit baru;

Ketiga, tidak mudah memperoleh likuiditas dari menjual asset-asset yang dimiliki—karena tidak adanya pembeli—dimana saat ini bukan saat yang tepat untuk belanja. Belanja itu erat kaitannya dengan psikologi “feeling good”—sedangkan saat ini situasi psikologi dipenuhi cemas, “concern and worry”.

Langkah-langkah Mendesak

Kebijakan OJK yang memberi stimulus perekonomian agar bank-bank dapat menjaga kualitas asset dan menjaga NPL (Non-Performing Loan) adalah hal yang baik.

Begitu pula kebijakan Bank Indonesia terbaru dalam mengatasi dampak COVID 19 yang fokus menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan serta sistem pembayaran, terutama menjaga kondisi nilai tukar Rupiah adalah hal yang positif.

Namun, hal yang justru sangat penting dan juga perlu mendapat perhatian yang besar adalah kebijakan terhadap bank-bank dan lembaga keuangan lainnya dalam menjaga aliran likuiditas mereka, terutama likuiditas bank-bank dan lembaga keuangan lainnya yang kecil atau kurang dikelola dengan baik.

Oleh karena itu, beberapa langkah berikut perlu segera dilakukan, antara lain:

Pertama, perlu ada suatu review yang mendalam terhadap bank-bank atau lembaga keuangan lainnya—apakah ada bank atau lembaga keuangan lain yang akan mengalami kesulitan likuiditas dalam jangka pendek ini.

Terlebih setelah diberlakukannya kebijakan OJK terkait penundaan pembayaran kredit bagi para debitur yang terdampak COVID 19. Dampak kebijakan ini cukup luas. Bayangkan, sebagai contoh, debitur menunda pembayaran cicilan motor ke perusahaan pembiayaan, konsekuensinya perusahaan pembiayaan tidak mampu membayar kredit ke bank.

Saat yang sama, perusahaan besar dan menengah banyak mengalami mundur dalam piutang dagang, konsekuensinya mereka tidak sanggup membayar hutang dagang atau bunga bank—apalagi pokok pinjaman, bahkan mereka terancam berhenti produksi dan terjadi PHK. Ujung-ujungnya, NPL perbankan melonjak dan bank kesulitan likuiditas.

Dalam situasi tersebut, jika dalam review tersebut ditemukan adanya bank-bank atau lembaga keuangan lainnya yang kesulitan likuiditas namun kinerja keuangan dan manajemen mereka baik dan sehat, maka perlu dipikirkan suatu kebijakan stimulus keuangan berupa bantuan likuiditas—seperti yang dahulu pernah dilakukan melalui program BLBI di saat krisis 1998. Bantuan likuiditas tersebut penting bagi mereka untuk tetap menjadi active-lender yang menjaga likuiditas ke pasar.

Sedangkan jika ditemukan bank dan lembaga keuangan lainnya yang kesulitan likuiditas karena terbukti salah kelola, misalnya: memberikan pinjaman ke grup usaha sendiri melalui nominee, melakukan plafondering sehingga tidak ada cash-flow yang riil, dan sebagainya, maka perlu kebijakan yang memaksa mereka untuk segera konsolidasi dan penyelamatan.

Kedua, perlu juga dilakukan review terhadap semua reksadana dan produk investasi agar dapat segera diantisipasi sesegera mungkin jika ada yang berpotensi gagal bayar (ingat kasus Jiwasraya dll), serta perlu komunikasi yang efektif ke investor untuk menghindari kepanikan di pasar keuangan.

Ketiga, perlu segera dilakukan monitoring terhadap bond USD luar negeri oleh korporasi nasional serta review dampak sistemiknya jika ada yang berpotensi gagal bayar, apakah situasinya masih bisa diterima atau kondisi gagal bayar tersebut akan terjadi efek domino terhadap perekonomian nasional.

Keempat, perlunya mendorong Top 10 bank tetap menyalurkan kredit secara selektif terutama kepada perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas namun masih memiliki bisnis yang berjalan baik termasuk sektor UMKM.

Kelima, aliran likuiditas ke pasar perlu dijaga melalui Top 10 bank dengan menyiapkan kebijakan stimulus bantuan likuiditas bagi mereka agar kredit dapat tetap berjalan dengan bunga yang yang lebih rendah, baik bunga kredit maupun bunga deposit.

Penulis menyadari bahwa upaya menjaga aliran likuiditas sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, tidak berarti “at any cost”. Tentu ada “batas perhitungan yang wajar” mengenai jumlah stimulus terkait likuiditas tersebut.

Akhirnya, selain upaya fokus menjaga likuiditas sektor keuangan, kiranya krisis akibat pandemi COVID 19 ini perlu dikaji dampaknya terhadap perekonomian secara menyeluruh, dengan mengidentifikasi vulnerable spots dalam roda perekonomian nasional: misalnya, perusahaan pembiayaan (multifinance) yang berpotensi gagal bayar ke bank, bank-bank kecil yang bisa terancam, perusahaan-perusahaan besar mengalami gagal bayar utang baik utang luar negeri maupun dalam negeri, terjadi gelombang PHK dan bisnis yang terancam gulung tikar, serta perorangan yang tidak memiliki penghasilan yang cukup dan sebagainya. Langkah-langkah mendesak, efektif dan strategis khususnya terhadap vulnerable spotstersebut perlu segera diambil—agar Indonesia dapat segera terhindar dari krisis yang jauh lebih dalam dan bersifat multidimensional. Semoga!

Tutup
Loading